Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu
cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis
skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri
sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar
negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario
sinetron. Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya.
Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison.
Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis
skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia
(FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai
penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang
banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik,
Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu
Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya
karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada
ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang
beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati
botak. Karena itu, ia selalu memakai topi.
"Dengan ini saya terlihat
lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu
yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944,
bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah
maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan
besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya
dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah
Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula,
ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu
pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD,
''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May,
buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan
yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni
pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku,"
ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main
drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba
deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh
Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama
kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang
sekali pada drama," kenang Putu Setelah selesai sekolah menengah atas,
ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di
Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari
seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni
Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari
Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi
ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia
mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di
Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah
tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa
pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu
Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu.
Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang
berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus
sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga
Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di
Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan
Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer.
Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres
(1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo
(1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan
Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk
menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya
terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih
bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki)
di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan
lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali
aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International
Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia,
mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar
banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya
adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis
dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri,
tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga
membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan
pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia
tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya
lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula
di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).Ia mempunyai
pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival
Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III
di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri
berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang
(2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater,
Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain
berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup
banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik
drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan
Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya
menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia
cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya
stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan
kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia
lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep
teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan,
pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi
nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa
berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.Ia menegaskan,
''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu
tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana
harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain
menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes,
tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang
meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya.
Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya
pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman,
menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu
menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya,
''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti
baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi,
problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak.
''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan
makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya
sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis.
"Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu
saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu
galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi,
menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara
film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang
disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron
yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan
Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas,
serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada
1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman
yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya
menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,''
ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama
menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati,
karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di
Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988,
ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas
Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation,
Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar -
walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi -
pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.Rumah tangga
baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan
istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya
tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak
berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia
menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini,
penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz
ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta
berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam
tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap
bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus
pekerjaan," ujar Putu.
Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Ditulis Oleh :
Alfin Fauzan
~ Basasindo