Biografi Andrea Hirata - Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea Hirata sendiri merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said Harunayah dan NA Masturah.
Ia dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin dan letaknya
yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan
segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari
kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di
sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.
Nama Andrea Hirata sebenarnya bukanlah nama pemberian dari kedua orang tuanya. Sejak lahir ia diberi nama Aqil Barraq Badruddin.
Merasa tak cocok dengan nama tersebut, Andrea pun menggantinya dengan
Wadhud. Akan tetapi, ia masih merasa terbebani dengan nama itu. Alhasil,
ia kembali mengganti namanya dengan Andrea Hirata Seman Said Harun sejak ia remaja.
“Andrea diambil dari nama seorang wanita yang nekat bunuh
diri bila penyanyi pujaannya, yakni Elvis Presley tidak membalas
suratnya,” ungkap Andrea.
Sedangkan Hirata
sendiri diambil dari nama kampung dan bukanlah nama orang Jepang
seperti anggapan orang sebelumnya. Sejak remaja itulah, pria asli
Belitong ini mulai menyandang nama Andrea Hirata.
Andrea tumbuh seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Dengan segala
keterbatasan, Andrea tetap menjadi anak periang yang sesekali berubah
menjadi pemikir saat menimba ilmu di sekolah. Selain itu, ia juga kerap
memiliki impian dan mimpi-mimpi di masa depannya.
Seperti yang
diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di
sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir
rubuh. Sekolah yang bernama SD Muhamadiyah tersebut diakui Andrea
cukuplah memperihatinkan. Namun karena ketiadaan biaya, ia terpaksa
bersekolah di sekolah yang bentuknya lebih mirip sebagai kandang hewan
ternak. Kendati harus menimba ilmu di bangunan yang tak nyaman, Andrea
tetap memiliki motivasi yang cukup besar untuk belajar. Di sekolah itu
pulalah, ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang dijuluki dengan
sebutan Laskar Pelangi.
Di SD Muhamadiyah pula, Andrea bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat dihormatinya, yakni NA (Nyi Ayu) Muslimah.
“Saya menulis buku Laskar Pelangi untuk Bu Muslimah,” ujar Andrea dengan tegas kepada Realita.
Kegigihan Bu Muslimah untuk mengajar siswa yang hanya berjumlah tak
lebih dari 11 orang itu ternyata sangat berarti besar bagi kehidupan
Andrea. Perubahan dalam kehidupan Andrea, diakuinya tak lain karena
motivasi dan hasil didikan Bu Muslimah. Sebenarnya di Pulau Belitong ada
sekolah lain yang dikelola oleh PN Timah. Namun, Andrea tak berhak
untuk bersekolah di sekolah tersebut karena status ayahnya yang masih
menyandang pegawai rendahan. “Novel yang saya tulis merupakan memoar
tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga menjadi seperti
sekarang,” tutur Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada
perpustakaan sebuah sekolah miskin ini.
Tentang sosok Muslimah, Andrea menganggapnya sebagai seorang yang sangat menginspirasi hidupnya. “
Perjuangan kami untuk mempertahankan sekolah yang hampir rubuh sangat berkesan dalam perjalanan hidup saya,” ujar Andrea.
Berkat Bu Muslimah, Andrea mendapatkan dorongan yang membuatnya mampu
menempuh jarak 30 km dari rumah ke sekolah untuk menimba ilmu. Tak
heran, ia sangat mengagumi sosok Bu Muslimah sebagai salah satu
inspirator dalam hidupnya. Menjadi seorang penulis pun diakui Andrea
karena sosok Bu Muslimah. Sejak kelas 3 SD, Andrea telah membulatkan
niat untuk menjadi penulis yang menggambarkan perjuangan Bu Muslimah
sebagai seorang guru. “Kalau saya besar nanti, saya akan menulis tentang
Bu Muslimah,” ungkap penggemar penyanyi Anggun ini. Sejak saat itu,
Andrea tak pernah berhenti mencoret-coret kertas untuk belajar menulis
cerita.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di kampung halamannya, Andrea lantas
memberanikan diri untuk merantau ke Jakarta selepas lulus SMA. Kala itu,
keinginannya untuk menggapai cita-cita sebagai seorang penulis dan
melanjutkan ke bangku kuliah menjadi dorongan terbesar untuk hijrah ke
Jakarta. Saat berada di kapal laut, Andrea mendapatkan saran dari sang
nahkoda untuk tinggal di daerah Ciputat karena masih belum ramai
ketimbang di pusat kota Jakarta. Dengan berbekal saran tersebut, ia pun
menumpang sebuah bus agar sampai di daerah Ciputat. Namun, supir bus
ternyata malah mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung, Andrea
lantas memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut.
Beruntung
bagi dirinya, Andrea mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat
di kantor pos Bogor. Atas dasar usaha kerasnya, Andrea berhasil
melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Merasakan bangku kuliah merupakan salah satu cita-citanya sejak ia
berangkat dari Belitong. Setelah
menamatkan dan memperoleh gelar sarjana, Andrea juga mampu mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 Economic Theory di Universite
de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, Inggris.
Berkat
otaknya yang cemerlang, Andrea lulus dengan status cum laude dan mampu
meraih gelar Master Uni Eropa. Sekembalinya ke tanah air, Andrea bekerja
di PT Telkom dan Mulailah ia bekerja sebagai seorang karyawan Telkom.
Kini, Andrea masih aktif sebagai seorang instruktur di perusahaan
telekomunikasi tersebut. Selama bekerja, niatnya menjadi seorang penulis
masih terpendam dalam hatinya. Niat untuk menulis semakin menggelora
setelah ia menjadi seorang relawan di Aceh untuk para korban tsunami.
“Waktu itu saya melihat kehancuran akibat tsunami, termasuk kehancuran
sekolah-sekolah di Aceh,” kenang pria yang tak memiliki latarbelakang
sastra ini.
Kondisi sekolah-sekolah yang telah hancur lebur
lantas mengingatkannya terhadap masa lalu SD Muhamadiyah yang juga
hampir rubuh meski bukan karena bencana alam. Ingatan terhadap sosok Bu
Muslimah pun kembali membayangi pikirannya. Sekembalinya dari Aceh,
Andrea pun memantapkan diri untuk menulis tentang pengalaman masa
lalunya di SD Muhamadiyah dan sosok Bu Muslimah. “Saya mengerjakannya
hanya selama tiga minggu,” aku pria yang berulang tahun pada 24 Oktober
ini.
Naskah setebal 700 halaman itu lantas digandakan menjadi 11
buah. Satu kopi naskah tersebut dikirimkan kepada Bu Muslimah yang kala
itu tengah sakit. Sedangkan sisanya dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya
dalam Laskar Pelangi. Tak sengaja, naskah yang berada dalam laptop
Andrea dibaca oleh salah satu rekannya yang kemudian mengirimkan ke
penerbit.
Bak gayung bersambut, penerbit pun tertarik untuk
menerbitkan dan menjualnya ke pasar. Tepatnya pada Desember 2005, buku
Laskar Pelangi diluncurkan ke pasar secara resmi. Dalam waktu singkat,
Laskar Pelangi menjadi bahan pembicaraan para penggemar karya sastra
khususnya novel. Dalam waktu seminggu, novel perdana Andrea tersebut
sudah mampu dicetak ulang. Bahkan dalam kurun waktu setahun setelah
peluncuran, Laskar Pelangi mampu terjual sebanyak 200 ribu sehingga
termasuk dalam best seller. Hingga saat ini, Laskar Pelangi mampu
terjual lebih dari satu juta eksemplar.
Penjualan Laskar Pelangi
semakin merangkak naik setelah Andrea muncul dalam salah satu acara
televisi. Bahkan penjualannya mencapai 20 ribu dalam sehari. Sungguh
merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Andrea, terlebih lagi ia masih
tergolong baru sebagai seorang penulis novel. Padahal Andrea sendiri
mengaku sangatlah jarang membaca novel sebelum menulis Laskar Pelangi.
Sukses dengan Laskar Pelangi, Andrea kemudian kembali meluncurkan buku
kedua, Sang Pemimpi yang terbit pada Juli 2006 dan dilanjutkan dengan
buku ketiganya, Edensor pada Agustus 2007. Selain meraih kesuksesan
dalam tingkat penjualan, Andrea juga meraih penghargaan sastra
Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada tahun 2007.
Lebaran di Belitong. Kini, Andrea sangat disibukkan dengan kegiatannya
menulis dan menjadi pembicara dalam berbagai acara yang menyangkut dunia
sastra. Penghasilannya pun sudah termasuk paling tinggi sebagai seorang
penulis. Namun demikian, beberapa pihak sempat meragukan isi dari novel
Laskar Pelangi yang dianggap terlalu berlebihan. “Ini kan novel, jadi
wajar seandainya ada cerita yang sedikit digubah,” ungkap Andrea yang
memiliki impian tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia yang
terletak di pegunungan Himalaya. Kesuksesannya sebagai seorang penulis
tentunya membuat Andrea bangga dan bahagia atas hasil kerja kerasnya
selama ini.
Meski disibukkan dengan kegiatannya yang cukup
menyita waktu, Andrea masih tetap mampu meluangkan waktu untuk mudik di
saat Lebaran lalu. Bahkan bagi Andrea, mudik ke Belitong di saat Lebaran
adalah wajib hukumnya. “Orang tua saya sudah sepuh, jadi setiap Lebaran
saya harus pulang,” ujar Andrea dengan tegas. Di Belitong, Andrea
melakukan rutinitas bersilaturahmi dengan orang tua dan kerabat lainnya
sembari memakan kue rimpak, kue khas Melayu yang selalu hadir pada saat
Lebaran. Kendati perjalanan ke Belitong tidaklah mudah, karena pilihan
transportasi yang terbatas, Andrea tetap saja harus mudik setiap Lebaran
tiba. Terlebih lagi, bila ia tak kebagian tiket pesawat ke Bandara
Tanjung Pandan, Pulau Belitong, maka mau tak mau Andrea harus menempuh
18 jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut.
Perasaan bangga
dan bahagia semakin dirasakan Andrea tatkala Laskar Pelangi diangkat
menjadi film layar lebar oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. “Saya percaya
dengan kemampuan mereka,” ujarnya tegas. Apalagi, film Laskar Pelangi
juga sempat ditonton oleh orang nomor satu di negeri ini, Susilo Bambang
Yudhoyono beberapa waktu lalu. “
Kini Laskar Pelangi
memiliki artikulasi yang lebih luas daripada sebuah buku. Nilai-nilai
dalam Laskar Pelangi menjadi lebih luas,” tutur Andrea
Menjadi seorang penulis novel terkenal mungkin tak pernah ada dalam
pikiran Andrea Hirata sejak masih kanak-kanak. Berjuang untuk meraih
pendidikan tinggi saja, dirasa sulit kala itu. Namun, seiring dengan
perjuangan dan kerja keras tanpa henti, Andrea mampu meraih sukses
sebagai penulis memoar kisah masa kecilnya yang penuh dengan
keperihatinan.
Sumber: http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/10/biografi-andrea-hirata-penulis-novel.html
Ditulis Oleh :
Alfin Fauzan
~ Basasindo