Tanah Yang Dijanjikan
dan Tanah Yang Terlupakan
Oleh
: Bintang Ekananda
Berdesir
darahku mengalir terasa lebih cepat, gemelutuk
rahang gigiku bersahutan tak henti-henti, jari-jariku mulai kisut, dengkul
gemetaran hebat, ku gas saja terus motor tua peninggalan kakekku menerobos
hujan, lebih tepatnya badai mungkin. Tak bisa disanggah, aku kedinginan.
Sekali. Jalanan sudah sepi, waktu itu sudah tengah malam mungkin, sepanjang jalan
hanya terlihat warung-warung kecil dan toko dengan beberapa orang berteduh di
dalam atau emperannya. Beberapa cafe juga masih buka, mempertontonkan mahasiswa-mahasiswa
yang sedang duduk-duduk saja, berpasang-pasangan dan bercanda, terbahak-bahak,
minum kopi, ada yang berangkulan menahan dingin, dingin yang bisa dibilang tega
sekali malam itu. Beberapa ada juga yang sedang saling merayu, mungkin. Yang
jelas, mereka semua tahu bahwa hujan malam itu sangat deras, kelewatan
derasnya.
Karena
tak tahan, aku bilang ke Rinta, “Ta, aku wes
rak tahan ndes, neduh dulu lah,
bisa meriang nih, ga kuat!”. “Ndes”
adalah panggilan antar teman yang sudah akrab, khas Kota Semarang. Setara bro, diancuk,
cuy dan sejenisnya.
“Boleh
dah, gue juga kaga tahan, minggir
dulu deh buruan”, jawab Rinta
menyetujui usulanku. Mataku pun segera mengamati kanan kiri jalan, mencari-cari
tempat yang sesuai untuk berteduh. Rinta jelas tak bisa ikut mencari, sekujur
badannya tertutup jas hujan single
yang aku pakai.
“Burjo
Theis mau ngga koe ta? Udah hampir
nyampe tuh di depan, daripada bingung mau kemana”, aku bertanya dengan sedikit
berteriak karena suaraku saingan dengan suara hujan dan mesin motorku. Sekedar
memberi informasi, “Burjo” adalah singkatan dari bubur kacang ijo, sejenis warung kopi yang menjual
aneka makanan dan minuman mulai dari nasi telur (nasi yamg lauknya hanya telur
dadar atau mata sapi, kadang ditambah dengan masakan tempe kering sebagai varian), nasi goreng, bubur kacang ijo itu sendiri tentunya, mie instan,
kopi, Kuku Bima, dan masih banyak
lainnya. Nama salah satu menunya, yaitu burjo itu tadi, memang dijadikan
sebagai identitas warung. Burjo bukanlah asli Semarang, kedai-kedai burjo
rata-rata dimiliki oleh orang-orang pendatang dari Jawa Barat seperti Cirebon,
sama seperti Warteg yang datang lebih dulu dibawa oleh orang-orang dari daerah Tegal
dan Brebes, dan nampaknya Warteg memang sudah exist duluan.
“Oke
dah, terserah lu, Bel”, suara Rinta terdengar dari belakang menyepakati
usulanku.
Akhirnya
aku dan Rinta berhenti di depan Burjo Theis, memarkir motor dan langsung ngeloyor ke dalam. Di dalam kedai tak
terlalu ada banyak orang, hanya ada beberapa orang saja, sepertinya mereka juga
sedang menunggui hujan yang tak kunjung reda malam itu. Aku dan Rinta langsung
duduk di kursi kayu panjang dengan meja di depannya yang dilapisi logo Kopi Good
Day di dekat pintu masuk, kami berdua duduk bersebelahan menghadap tv yang
nempel di dinding kedai yang tersusun dari kayu dan triplek. Aku langsung pesan
mie goreng lengkap dengan sawi dan telur serta segelas teh hangat, sementara
Rinta, dia pesan kopi susu saja sambil membakar rokok Gudang Garam Filternya.
Menunggu
sekitar sepuluh menit, pesanan kami datang. Cepat memang, karena kondisi kedai
yang tak terlalu ramai. Aku tak sabar untuk segera menyantap mie yang baunya
semakin merangsang gairah makan. Aku kelaparan. Aku tak memperdulikan Rinta
yang sepertinya sedang sibuk memastikan
isi tasnya baik-baik saja tak basah karna air hujan sambil mengempit Gudang
Garamnya di selah-selah bibirnya. Sepuluh menit kemudian, makananku sudah
ludes, mangkok kembali resik seperti
tak pernah ada makanan sebelumnya, lalu aku menyeruput teh hangat dengan
terburu-buru karena tenggorokanku seret sambil mendongak ke arah tv.
Ku
lihat siaran Metro TV memenuhi layar TV Samsung hitam flat 21 inch yang berada di dinding kedai, mengabarkan bahwa
tentara Israel telah menjatuhkan, lagi, beberapa bomb pemusnah tepat di atas
pemukiman padat penduduk di sekitaran jalur konflik, Gaza.
Serangan
mereka sudah dimulai lagi katanya. Puluhan luka-luka, atau mungkin ratusan,
tidak sedikit juga yang meninggal. Banyak. Sepuluh atau dua puluh, itu baru
sehari, bayangkan kalau sebulan, setahun, jangan-jangan sudah sampai seribuan
lima ratusan lebih yang mati, ah! Aku ciut sendiri membayangkannya. Kabarnya,
para tentara Zionis menjatuhkan bomb seperti melakukan permainan lempar mercon di kalangan anak-anak pada waktu
Ramadhan, seperti tak mengerti bahaya dari hal yang dilakukan, tak ada beban.
Bomb
yang dijatuhkan oleh komplotan tentara Zionis ini macam-macam, salah satunya
adalah fragmentation bomb, sebuah bom
yang jika dijatuhkan dari langit dan nempel ke tanah, tidak langsung meledak. Tapi,
bomb-bomb malah mencar menjadi bola-bola kecil menyerupai gundu, sehingga
memang akan dikira gundu oleh anak-anak atau orang yang melihatnya. Barulah,
setelah dipegang dan diutak-atik, biasanya oleh anak-anak, karena dikira mainan,
boom!!! Meledak!!! Anak-anak yang diledakkan!!! Aku tidak bisa membayangkan...
tidak bisa. Bagaimana kalau itu adalah anakku? Bagaimana kalau itu adalah aku?
Seperti apa perasaaan orang tuaku? Aku sedih. Lemas. Aku habiskan teh hangat
ku, dan kali ini aku juga ikut membakar Gudang Garam milik Rinta.
“Mereka
lucu ya”, Rinta tiba-tiba nyeletuk menyadarkanku dari lamunan tentang Zionis
dan bombnya.
“Siapa
yang lucu?”, tanyaku. “Ya mereka itu, Israel dan Palestina, mirip anak-anak
kelakuannya. Eh, salah deng, lebih
tepatnya mirip orang tua kolot yang rebutan warisan, warisan tanah tepatnya, ha
ha ha”. Rinta menimpali lagi sambil menyedot panjang rokoknya dan mengepulkan
asapnya ke arah ku.
“Ah,
ngawur koe, nggak gitu kali ta”, aku
menyanggah tanpa melihat wajah Rinta, sambil nyengir kecut.
“Terus?
Apa pendapat elu? Lu bisa jelasin ngga kalo mereka itu, baik Palestina maupun
Israel, sifatnya nggak kaya anak-anak?”, tanya rinta. Tapi aku tak menjawab.
Suasana hening sekejap.
Kemudian
terdengar suara Rinta lagi, “Mereka perang... ratusan juta dollar sirna
sia-sia, ribuan nyawa melayang, anak-anak ngga berdosa juga ikut mati
mengenaskan, dengan alasan yang menurut gue... Ga masuk akal, rebutan tanah!
Tanah yang mereka anggep suci, sedangkan ya, menurut hemat gue, seandainya itu
tanah emang suci, kenapa bisa sampe bikin perang? Malah bikin pertikaian?
Rebutan? Bukannya harusnya ngebawa mereka dalam perdamaian, ya? Bisalah dipake
buat hidup berdampingan kan itu tanah, ngga perlu direbutin, pake perang
segala, cukup berunding aja kali, manggil notaris dah, cukup, he he he.. Malah
perang segala, lebay ndes kalo kata
gue!”. Rinta kembali menyedot rokoknya, kali ini lebih lama dari sebelumnya.
Dia terlihat ikut memikirkan konflik Palestina dan Israel juga sepertinya,
meskipun pernyataan Rinta agak berbau joke.
Sekilas,
terdengar masuk akal argumentasi Rinta. Bagaimana bisa tanah yang dianggap
suci, yang dijanjikan sendiri oleh Tuhan, justru menimbulkan pertikaian. Ya,
seperti kita sama-sama tahu, Israel mengklaim bahwa tanah yang sekarang di
atasnya berdiri Negara Palestina, merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan
kepada bangsa Yahudi. Yahudi menganggap diri mereka adalah umat pilihan Allah
dibandingakan umat yang lain. Salah satu kelompok yang menganut paham ini
adalah kelompok Haredim. Kelompok ini awalnya hanya bermukim di wilayah
tradisional Jerusalem, namun sekerang sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah Israel dan mempunyai pengaruh politik yang
kuat pada politik Israel. Palestina juga punya klaimnya sendiri, mereka
menganggap bahwa Jerusalem (Al-Quds)
adalah bagian penting dari sejarah Islam, yaitu adanya masjid Al-Aqsa di sana
dan kenyataan bahwa Nabi Muhammad pernah singgah di sana saat perjalanan ke
langit. Akibatnya, konflik tak terelakkan karena adu klaim tadi.
“Ha
ha.. Notaris ? Kamu kira ini rebutan tanah antara mertua sama menantu, Ta. Macem
cerita-cerita di serial Hidayah aja,
terus yang jahat pas mati tanah kuburnya jadi susah di gali ya? Ha ha ha..”,
aku malah jadi menanggapi joke Rinta.
“Naaah,
boleh juga tuh, berarti nanti ini orang-orang Israel atau Palestina yah yang
kuburannya susah di gali? Ha ha ha...”, Rinta semakin menjadi-jadi bercandanya.
“Wah,
kalo itu aku nggak tahu, Ta. Hal-hal macem itu murni hak istimewa Tuhan,
prerogatif istilahnya. Yang jelas, terlepas dari simbol spiritualitas yang
mereka perebutkan, aku mengecam dengan keras tindakan Israel terhadap bangsa
Palestina, aku lihat ini dari sisi kemanusiaannya!!”; aku menjawab dengan
emosional tanpa disadari.
Aku
lanjut bicara lagi sebelum Rinta sempat menjawab pendapatku tadi, “Jelas ini
sebenarnya, ngga hanya masalah Islam dan Yahudi saja Ta, kita tau di sana juga
hidup umat Nasrani, kalau kita menyederhanakan ini hanya sebagai konflik agama,
takutnya adalah bangsa-bangsa lain yang mayoritas agama penduduknya adalah
Nasrani malah bisa jadi bakal menutup mata akan konflik ini. Jadi, kita harus
lihat dari sisi yang lebih universal, yaitu kemanusiaan, supaya dunia itu
melek, tergugah untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina dan terus
mengecam aksi penyerangan Zionis Israel”.
“Oh
jadi... Yang di Israel itu bukan sodara elo ya, Bel? Ha ha.. ”, Rinta malah
nyeletuk.
“Dulu,
Nabi Muhammad berbaik hati bikin perjanjian perdamaian dengan mereka umat
Yahudi untuk hidup berdampingan, tapi nyatanya mereka mengingkari, dan aku iki paling nggak suka yo sama orang yang ngga setia, dalam hal
ini ngga setia dengan perjanjian. Lebih ngga sukanya lagi, mereka mengingkari perjanjian
dengan manusia paling mulia di dunia, yaitu Nabi Muhammad, kan kurang ajar. Aku
tidak hanya melihat Nabi Muhammad sebagai muslim dalam konteks ini, tapi lebih
sebagai manusianya, berarti bisa dibilang mereka yang suka ingkar janji itu,
bukan manusia, Ta!”, Aku menggerutu. Aku jadi semakin enek sendiri, entah kepada siapa, mungkin Rinta, mungkin kepada
Zionis-zionis, atau dua-duanya. Aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Dan,
harus berbuat apa?
Malam
semakin menua, sebentar lagi subuh. Ini sudah Hari Minggu. Kemarin Sabtu, lusa
Senin, kemudian sampai Minggu lagi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di
Tembalang saat Hari Minggu itu datang lagi pekan depan. Yang jelas, mungkin,
tidak akan ada bomb, missile meluncur
dari squadron pesawat tempur Zionis,
roket dari RPG para pejuang Hamas di langit dan tanah Tembalang, tidak akan ada
pepearangan di sini, setidaknya dalam waktu-waktu dekat. Kami aman, minum kopi,
dan duduk santai di atas kursi. Sementara mereka Palestina, mungkin sedang
bersembunyi ketakutan di bawah meja kayu, jauh... sangat jauh dari kata yang
akrab dengan kami di sini, santai. Harusnya kami malu, dan memang persaan malu
itu kini muncul, perlahan tak disadari, menumbangkan rasa dingin yang di bawa
hujan yang sekarang, tanpa disadari juga, sudah reda.
“Oke
Bel, gue mulai ngerti keresahan lo sebagai sesama manusia. Ya, oke deh, kalo
dilihat dari sisi kemanusiaan, emang jelas sih, Israel keterlaluan. Tapi, coba
kalo gue lihat dari sisi teologisnya ya, menurut gue sih perang ini menunjukkan
sikap ketidak dewasaan kedua belah pihak dalam mengamalkan esensi ajaran agama
mereka masing-masing. Nggak ada agama, harusnya, yang ngajarin kita untuk
saling bunuh, apalagi ngebunuh anak-anak dan wanita yang lemah, yang ada adalah
agama yang ngajarin kita untuk membawa perdamaian, kasih sayang antar sesama,
dan setahu gue, Islam dan Yahudi punya itu di dalam kitab sucinya, terus kalo
esensinya aja udah ngga diamalin, buat apa kita beragama, Bel?” Rinta kembali
menanggapi, setelah aku diam.
“Emang
ngga ada agama yang ngajarin perang, atau saling bunuh lah Ta. Yang ada, Tuhan
menyuruh kita untuk ngebela agama yang Dia ridhoi. Kata “ngebela” di sini yang
dimaknai banyak orang sebagai jihad, jihad yang menurutku kurang tepat
interpretasinya. Jihad tak selalu harus perang, bahkan Tuhan nyuruh kita untuk
mendahulukan jihad harta ketimbang perang. Artinya apa? Tuhan lebih suka
manusia membantu sesamanya dengan hartanya, daripada harus mengorbankan jiwanya
dalam peperangan”, jawabku kepada Rinta.
“Lah,
emang apa agama yang diridhoi Tuhan Bel? Islam? Cuma Islam?”
“Hmmm,
aku nggak mau jawab itu. Yang jelas, aku muslim, tapi aku ngga akan membenci
umat lain, entah itu Yahudi, Nasrani, Hidhu, Budha atau apalah, tidak akan.
Tidak adil kalau aku membenci seseorang hanya karena agamanya. Karna tolak ukur
paling fair untuk menilai sejauh mana
seseorang itu beragama adalah, menurutku, kemanusiaannya. Bukan dari agamanya
itu sendiri. Jadi, aku tidak membenci Yahudinya, tapi aku mengecam perbuatan
mereka, karena jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.” Aku menjawab lagi, dan
suasana jadi hening, adzan sayup-sayup berkumandang, tak terasa, sudah masuk
waktu Subuh untuk wilayah Semarang dan sekitarnya.
Aku
ajak Rinta pulang. Kami membayar makanan kami. Ternyata, daritadi kami tidak
menyadari kalau hanya tinggal kami berdua dan Aa Burjo yang tersisa di kedai,
karena asyik berdiskusi. Pengunjung kedai yang lain, yang kiranya sama
mahasiswa-mahasiswa juga, sudah tidak ada entah kemana, mungkin pulang ke
kos-kosannya masing-masing, atau ada yang menginap di kos temannya, atau
mungkin... di kos pacarnya? He.. he.. aku tidak begitu peduli.
Kami
keluar dari kedai, bergegas menuju motorku, aku suruh Rinta memegangi jas hujan
yang tadi kami pakai karena terasa malas untuk melipatnya terlebih dahulu.
Nanti saja di kos. Sebelum aku starter
motorku, terdengar lagi suara Rinta yang sudah duduk siap jalan di belakangku.
“Jadi,
lo mau gimana, Bel?”
“Gimana
apanya?”
“Lo
bilang lo resah tadi, lo malu ngga bisa ngapa-ngapain di sini sementara
orang-orang di Palestina pada menderita kejatuhan bomb?”
Aku
mikir sejenak.
“Ada
yang bilang, kalau kamu tidak bisa membantu dengan perbuatan, maka cukup dengan
lisan, kalau masih tak sanggup dengan lisan, cukup dengan doa”.
“Jadi,
gimana? Lo mau doa aja? Ngga mau langsung ke Palestina? He.. he...”
“Sementara
iya, aku bantu doa aja dulu. Ke Palestina? Pengin. Suatu saat kalau dikasih
kesempatan, Insya Allah”.
“Donasi
aja juga bisa kali, Bel”
“O,
iya, bener banget, ide bagus tuh Ta. Oke deh, donasi, nanti kita kumpulin juga
anak-anak yang lain buat ngumpulin dana juga”
“Hmm,
boleh deh”
“Kalo
kamu sendiri gimana, Ta? Mau tidak dikirim ke Palestina?”
“Gue?
He.. he.. kejauhan bro, gue pilih ke
Papua dulu aja, bantu bangsa dan tanah air gue sendiri!”
“....”
Aku
nyetarter motor, langsung ngegas pulang. Aku Abel, salah satu
manusia di bumi yang sedang resah, semakin resah. O, iya, ada PAPUA di Timur
yang lebih dekat denganku. Aku lupa (?).
“Ditulis
di kamar sendiri, di sebuah desa kecil di Kabupaten Tegal, jauh dari tanah
Palestina dan Papua, tapi sungguh hati ini memikirkan kalian saudara-saudaraku...”
Bintang
Ekananda, 20 Juli 2014, Pkl. 08:08 WIB
Ditulis Oleh :
Alfin Fauzan
~ Basasindo