• About
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
  • Submit Tulisan
BASASINDO
  • Home
  • Bahasa
  • Sastra
  • Pendidikan
  • Lainnya >>
    • Artikel
    • Biografi
    • Makalah
  • Galeri >>
    • Cerpen
    • Pantun
    • Puisi
  • Ruang Download
Home » Cerpen » Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda

Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda

Alfin Fauzan
Add Comment
Cerpen
Minggu, 20 Juli 2014


Tanah Yang Dijanjikan dan Tanah Yang Terlupakan
Oleh : Bintang Ekananda

Berdesir darahku mengalir terasa lebih cepat, gemelutuk rahang gigiku bersahutan tak henti-henti, jari-jariku mulai kisut, dengkul gemetaran hebat, ku gas saja terus motor tua peninggalan kakekku menerobos hujan, lebih tepatnya badai mungkin. Tak bisa disanggah, aku kedinginan. Sekali. Jalanan sudah sepi, waktu itu sudah tengah malam mungkin, sepanjang jalan hanya terlihat warung-warung kecil dan toko dengan beberapa orang berteduh di dalam atau emperannya. Beberapa cafe juga masih buka, mempertontonkan mahasiswa-mahasiswa yang sedang duduk-duduk saja, berpasang-pasangan dan bercanda, terbahak-bahak, minum kopi, ada yang berangkulan menahan dingin, dingin yang bisa dibilang tega sekali malam itu. Beberapa ada juga yang sedang saling merayu, mungkin. Yang jelas, mereka semua tahu bahwa hujan malam itu sangat deras, kelewatan derasnya.
Karena tak tahan, aku bilang ke Rinta, “Ta, aku wes rak tahan ndes, neduh dulu lah, bisa meriang nih, ga kuat!”. “Ndes” adalah panggilan antar teman yang sudah akrab, khas Kota Semarang. Setara bro, diancuk, cuy dan sejenisnya.
“Boleh dah, gue juga kaga tahan, minggir dulu deh buruan”, jawab Rinta menyetujui usulanku. Mataku pun segera mengamati kanan kiri jalan, mencari-cari tempat yang sesuai untuk berteduh. Rinta jelas tak bisa ikut mencari, sekujur badannya tertutup jas hujan single yang aku pakai.
“Burjo Theis mau ngga koe ta? Udah hampir nyampe tuh di depan, daripada bingung mau kemana”, aku bertanya dengan sedikit berteriak karena suaraku saingan dengan suara hujan dan mesin motorku. Sekedar memberi informasi, “Burjo” adalah singkatan dari bubur kacang ijo, sejenis warung kopi yang menjual aneka makanan dan minuman mulai dari nasi telur (nasi yamg lauknya hanya telur dadar atau mata sapi, kadang ditambah dengan masakan tempe kering sebagai varian), nasi goreng, bubur kacang ijo itu sendiri tentunya, mie instan, kopi, Kuku Bima, dan masih banyak lainnya. Nama salah satu menunya, yaitu burjo itu tadi, memang dijadikan sebagai identitas warung. Burjo bukanlah asli Semarang, kedai-kedai burjo rata-rata dimiliki oleh orang-orang pendatang dari Jawa Barat seperti Cirebon, sama seperti Warteg yang datang lebih dulu dibawa oleh orang-orang dari daerah Tegal dan Brebes, dan nampaknya Warteg memang sudah exist duluan.
“Oke dah, terserah lu, Bel”, suara Rinta terdengar dari belakang menyepakati usulanku.
Akhirnya aku dan Rinta berhenti di depan Burjo Theis, memarkir motor dan langsung ngeloyor ke dalam. Di dalam kedai tak terlalu ada banyak orang, hanya ada beberapa orang saja, sepertinya mereka juga sedang menunggui hujan yang tak kunjung reda malam itu. Aku dan Rinta langsung duduk di kursi kayu panjang dengan meja di depannya yang dilapisi logo Kopi Good Day di dekat pintu masuk, kami berdua duduk bersebelahan menghadap tv yang nempel di dinding kedai yang tersusun dari kayu dan triplek. Aku langsung pesan mie goreng lengkap dengan sawi dan telur serta segelas teh hangat, sementara Rinta, dia pesan kopi susu saja sambil membakar rokok Gudang Garam Filternya.
Menunggu sekitar sepuluh menit, pesanan kami datang. Cepat memang, karena kondisi kedai yang tak terlalu ramai. Aku tak sabar untuk segera menyantap mie yang baunya semakin merangsang gairah makan. Aku kelaparan. Aku tak memperdulikan Rinta yang sepertinya  sedang sibuk memastikan isi tasnya baik-baik saja tak basah karna air hujan sambil mengempit Gudang Garamnya di selah-selah bibirnya. Sepuluh menit kemudian, makananku sudah ludes, mangkok kembali resik seperti tak pernah ada makanan sebelumnya, lalu aku menyeruput teh hangat dengan terburu-buru karena tenggorokanku seret sambil mendongak ke arah tv.
Ku lihat siaran Metro TV memenuhi layar TV Samsung hitam flat 21 inch yang berada di dinding kedai, mengabarkan bahwa tentara Israel telah menjatuhkan, lagi, beberapa bomb pemusnah tepat di atas pemukiman padat penduduk di sekitaran jalur konflik, Gaza.
Serangan mereka sudah dimulai lagi katanya. Puluhan luka-luka, atau mungkin ratusan, tidak sedikit juga yang meninggal. Banyak. Sepuluh atau dua puluh, itu baru sehari, bayangkan kalau sebulan, setahun, jangan-jangan sudah sampai seribuan lima ratusan lebih yang mati, ah! Aku ciut sendiri membayangkannya. Kabarnya, para tentara Zionis menjatuhkan bomb seperti melakukan permainan lempar mercon di kalangan anak-anak pada waktu Ramadhan, seperti tak mengerti bahaya dari hal yang dilakukan, tak ada beban.
Bomb yang dijatuhkan oleh komplotan tentara Zionis ini macam-macam, salah satunya adalah fragmentation bomb, sebuah bom yang jika dijatuhkan dari langit dan nempel ke tanah, tidak langsung meledak. Tapi, bomb-bomb malah mencar menjadi bola-bola kecil menyerupai gundu, sehingga memang akan dikira gundu oleh anak-anak atau orang yang melihatnya. Barulah, setelah dipegang dan diutak-atik, biasanya oleh anak-anak, karena dikira mainan, boom!!! Meledak!!! Anak-anak yang diledakkan!!! Aku tidak bisa membayangkan... tidak bisa. Bagaimana kalau itu adalah anakku? Bagaimana kalau itu adalah aku? Seperti apa perasaaan orang tuaku? Aku sedih. Lemas. Aku habiskan teh hangat ku, dan kali ini aku juga ikut membakar Gudang Garam milik Rinta.
“Mereka lucu ya”, Rinta tiba-tiba nyeletuk menyadarkanku dari lamunan tentang Zionis dan bombnya.
“Siapa yang lucu?”, tanyaku. “Ya mereka itu, Israel dan Palestina, mirip anak-anak kelakuannya. Eh, salah deng, lebih tepatnya mirip orang tua kolot yang rebutan warisan, warisan tanah tepatnya, ha ha ha”. Rinta menimpali lagi sambil menyedot panjang rokoknya dan mengepulkan asapnya ke arah ku.
“Ah, ngawur koe, nggak gitu kali ta”, aku menyanggah tanpa melihat wajah Rinta, sambil nyengir kecut.
“Terus? Apa pendapat elu? Lu bisa jelasin ngga kalo mereka itu, baik Palestina maupun Israel, sifatnya nggak kaya anak-anak?”, tanya rinta. Tapi aku tak menjawab. Suasana hening sekejap.
Kemudian terdengar suara Rinta lagi, “Mereka perang... ratusan juta dollar sirna sia-sia, ribuan nyawa melayang, anak-anak ngga berdosa juga ikut mati mengenaskan, dengan alasan yang menurut gue... Ga masuk akal, rebutan tanah! Tanah yang mereka anggep suci, sedangkan ya, menurut hemat gue, seandainya itu tanah emang suci, kenapa bisa sampe bikin perang? Malah bikin pertikaian? Rebutan? Bukannya harusnya ngebawa mereka dalam perdamaian, ya? Bisalah dipake buat hidup berdampingan kan itu tanah, ngga perlu direbutin, pake perang segala, cukup berunding aja kali, manggil notaris dah, cukup, he he he.. Malah perang segala, lebay ndes kalo kata gue!”. Rinta kembali menyedot rokoknya, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Dia terlihat ikut memikirkan konflik Palestina dan Israel juga sepertinya, meskipun pernyataan Rinta agak berbau joke.
Sekilas, terdengar masuk akal argumentasi Rinta. Bagaimana bisa tanah yang dianggap suci, yang dijanjikan sendiri oleh Tuhan, justru menimbulkan pertikaian. Ya, seperti kita sama-sama tahu, Israel mengklaim bahwa tanah yang sekarang di atasnya berdiri Negara Palestina, merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi. Yahudi menganggap diri mereka adalah umat pilihan Allah dibandingakan umat yang lain. Salah satu kelompok yang menganut paham ini adalah kelompok Haredim. Kelompok ini awalnya hanya bermukim di wilayah tradisional Jerusalem, namun sekerang sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah Israel dan mempunyai pengaruh politik yang kuat pada politik Israel. Palestina juga punya klaimnya sendiri, mereka menganggap bahwa Jerusalem (Al-Quds) adalah bagian penting dari sejarah Islam, yaitu adanya masjid Al-Aqsa di sana dan kenyataan bahwa Nabi Muhammad pernah singgah di sana saat perjalanan ke langit. Akibatnya, konflik tak terelakkan karena adu klaim tadi.
“Ha ha.. Notaris ? Kamu kira ini rebutan tanah antara mertua sama menantu, Ta. Macem cerita-cerita di serial Hidayah aja, terus yang jahat pas mati tanah kuburnya jadi susah di gali ya? Ha ha ha..”, aku malah jadi menanggapi joke Rinta.
“Naaah, boleh juga tuh, berarti nanti ini orang-orang Israel atau Palestina yah yang kuburannya susah di gali? Ha ha ha...”, Rinta semakin menjadi-jadi bercandanya.
“Wah, kalo itu aku nggak tahu, Ta. Hal-hal macem itu murni hak istimewa Tuhan, prerogatif istilahnya. Yang jelas, terlepas dari simbol spiritualitas yang mereka perebutkan, aku mengecam dengan keras tindakan Israel terhadap bangsa Palestina, aku lihat ini dari sisi kemanusiaannya!!”; aku menjawab dengan emosional tanpa disadari.
Aku lanjut bicara lagi sebelum Rinta sempat menjawab pendapatku tadi, “Jelas ini sebenarnya, ngga hanya masalah Islam dan Yahudi saja Ta, kita tau di sana juga hidup umat Nasrani, kalau kita menyederhanakan ini hanya sebagai konflik agama, takutnya adalah bangsa-bangsa lain yang mayoritas agama penduduknya adalah Nasrani malah bisa jadi bakal menutup mata akan konflik ini. Jadi, kita harus lihat dari sisi yang lebih universal, yaitu kemanusiaan, supaya dunia itu melek, tergugah untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina dan terus mengecam aksi penyerangan Zionis Israel”.
“Oh jadi... Yang di Israel itu bukan sodara elo ya, Bel? Ha ha.. ”, Rinta malah nyeletuk.
“Dulu, Nabi Muhammad berbaik hati bikin perjanjian perdamaian dengan mereka umat Yahudi untuk hidup berdampingan, tapi nyatanya mereka mengingkari, dan aku iki paling nggak suka yo sama orang yang ngga setia, dalam hal ini ngga setia dengan perjanjian. Lebih ngga sukanya lagi, mereka mengingkari perjanjian dengan manusia paling mulia di dunia, yaitu Nabi Muhammad, kan kurang ajar. Aku tidak hanya melihat Nabi Muhammad sebagai muslim dalam konteks ini, tapi lebih sebagai manusianya, berarti bisa dibilang mereka yang suka ingkar janji itu, bukan manusia, Ta!”, Aku menggerutu. Aku jadi semakin enek sendiri, entah kepada siapa, mungkin Rinta, mungkin kepada Zionis-zionis, atau dua-duanya. Aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Dan, harus berbuat apa?
Malam semakin menua, sebentar lagi subuh. Ini sudah Hari Minggu. Kemarin Sabtu, lusa Senin, kemudian sampai Minggu lagi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di Tembalang saat Hari Minggu itu datang lagi pekan depan. Yang jelas, mungkin, tidak akan ada bomb, missile meluncur dari squadron pesawat tempur Zionis, roket dari RPG para pejuang Hamas di langit dan tanah Tembalang, tidak akan ada pepearangan di sini, setidaknya dalam waktu-waktu dekat. Kami aman, minum kopi, dan duduk santai di atas kursi. Sementara mereka Palestina, mungkin sedang bersembunyi ketakutan di bawah meja kayu, jauh... sangat jauh dari kata yang akrab dengan kami di sini, santai. Harusnya kami malu, dan memang persaan malu itu kini muncul, perlahan tak disadari, menumbangkan rasa dingin yang di bawa hujan yang sekarang, tanpa disadari juga, sudah reda.
“Oke Bel, gue mulai ngerti keresahan lo sebagai sesama manusia. Ya, oke deh, kalo dilihat dari sisi kemanusiaan, emang jelas sih, Israel keterlaluan. Tapi, coba kalo gue lihat dari sisi teologisnya ya, menurut gue sih perang ini menunjukkan sikap ketidak dewasaan kedua belah pihak dalam mengamalkan esensi ajaran agama mereka masing-masing. Nggak ada agama, harusnya, yang ngajarin kita untuk saling bunuh, apalagi ngebunuh anak-anak dan wanita yang lemah, yang ada adalah agama yang ngajarin kita untuk membawa perdamaian, kasih sayang antar sesama, dan setahu gue, Islam dan Yahudi punya itu di dalam kitab sucinya, terus kalo esensinya aja udah ngga diamalin, buat apa kita beragama, Bel?” Rinta kembali menanggapi, setelah aku diam.
“Emang ngga ada agama yang ngajarin perang, atau saling bunuh lah Ta. Yang ada, Tuhan menyuruh kita untuk ngebela agama yang Dia ridhoi. Kata “ngebela” di sini yang dimaknai banyak orang sebagai jihad, jihad yang menurutku kurang tepat interpretasinya. Jihad tak selalu harus perang, bahkan Tuhan nyuruh kita untuk mendahulukan jihad harta ketimbang perang. Artinya apa? Tuhan lebih suka manusia membantu sesamanya dengan hartanya, daripada harus mengorbankan jiwanya dalam peperangan”, jawabku kepada Rinta.
“Lah, emang apa agama yang diridhoi Tuhan Bel? Islam? Cuma Islam?”
“Hmmm, aku nggak mau jawab itu. Yang jelas, aku muslim, tapi aku ngga akan membenci umat lain, entah itu Yahudi, Nasrani, Hidhu, Budha atau apalah, tidak akan. Tidak adil kalau aku membenci seseorang hanya karena agamanya. Karna tolak ukur paling fair untuk menilai sejauh mana seseorang itu beragama adalah, menurutku, kemanusiaannya. Bukan dari agamanya itu sendiri. Jadi, aku tidak membenci Yahudinya, tapi aku mengecam perbuatan mereka, karena jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.” Aku menjawab lagi, dan suasana jadi hening, adzan sayup-sayup berkumandang, tak terasa, sudah masuk waktu Subuh untuk wilayah Semarang dan sekitarnya.
Aku ajak Rinta pulang. Kami membayar makanan kami. Ternyata, daritadi kami tidak menyadari kalau hanya tinggal kami berdua dan Aa Burjo yang tersisa di kedai, karena asyik berdiskusi. Pengunjung kedai yang lain, yang kiranya sama mahasiswa-mahasiswa juga, sudah tidak ada entah kemana, mungkin pulang ke kos-kosannya masing-masing, atau ada yang menginap di kos temannya, atau mungkin... di kos pacarnya? He.. he.. aku tidak begitu peduli.
Kami keluar dari kedai, bergegas menuju motorku, aku suruh Rinta memegangi jas hujan yang tadi kami pakai karena terasa malas untuk melipatnya terlebih dahulu. Nanti saja di kos. Sebelum aku starter motorku, terdengar lagi suara Rinta yang sudah duduk siap jalan di belakangku.
“Jadi, lo mau gimana, Bel?”
“Gimana apanya?”
“Lo bilang lo resah tadi, lo malu ngga bisa ngapa-ngapain di sini sementara orang-orang di Palestina pada menderita kejatuhan bomb?”
Aku mikir sejenak.
“Ada yang bilang, kalau kamu tidak bisa membantu dengan perbuatan, maka cukup dengan lisan, kalau masih tak sanggup dengan lisan, cukup dengan doa”.
“Jadi, gimana? Lo mau doa aja? Ngga mau langsung ke Palestina? He.. he...”
“Sementara iya, aku bantu doa aja dulu. Ke Palestina? Pengin. Suatu saat kalau dikasih kesempatan, Insya Allah”.
“Donasi aja juga bisa kali, Bel”
“O, iya, bener banget, ide bagus tuh Ta. Oke deh, donasi, nanti kita kumpulin juga anak-anak yang lain buat ngumpulin dana juga”
“Hmm, boleh deh”
“Kalo kamu sendiri gimana, Ta? Mau tidak dikirim ke Palestina?”
“Gue? He.. he.. kejauhan bro, gue pilih ke Papua dulu aja, bantu bangsa dan tanah air gue sendiri!”
“....”
Aku nyetarter motor, langsung ngegas pulang. Aku Abel, salah satu manusia di bumi yang sedang resah, semakin resah. O, iya, ada PAPUA di Timur yang lebih dekat denganku. Aku lupa (?).

“Ditulis di kamar sendiri, di sebuah desa kecil di Kabupaten Tegal, jauh dari tanah Palestina dan Papua, tapi sungguh hati ini memikirkan kalian saudara-saudaraku...”
Bintang Ekananda, 20 Juli 2014, Pkl. 08:08 WIB

Ditulis Oleh : Alfin Fauzan ~ Basasindo

Alfin Fauzan Terima kasih telah mengunjungi tulisan di BASASINDO yang berjudul Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda . Anda diperbolehkan untuk menyebarluaskan atau copy paste tulisan ini dengan tetap menyertakan link sumbernya yaitu:

http://basasindo.blogspot.com/2014/07/cerpen-tanah-yang-dijanjikan-dan-tanah.html

:: BASASINDO ::

Tweet
Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda Title : Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda
Description : Tanah Yang Dijanjikan dan Tanah Yang Terlupakan Oleh : Bintang Ekananda Berdesir darahku mengalir terasa lebih cepat, gemelutuk...
Rating : 5

0 Komentar untuk " Cerpen Tanah yang Dijanjikan dan Tanah yang Terlupakan Karya Bintang Ekananda "

← Posting Lebih Baru Posting Lama → Beranda
Langganan: Posting Komentar ( Atom )

Kamus Bahasa Indonesia

Gabung Disini

Submit Tulisanmu

Submit Tulisan Kamu

Tulisan Populer

  • Sistematika Penulisan Karya Ilmiah Yang Benar
    Sistematika Penulisan Karya Ilmiah - Ilmiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bersifat ilmu/ilmu pengetahuan/memenuhi ...
  • Cerpen "R a s a" Karya Putu Wijaya
    R A S A Karya: Putu Wijaya     Memandangi koran, melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Sri...
  • Cerpen "Kemarau" Karya Andrea Hirata
      Kemarau Karya: Andrea Hirata   Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh ana...
  • Cerpen "2010" Karya Putu Wijaya
     2010 Karya: Putu Wijaya   Tak terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi? “Kalau boleh memilih, lebi...
  • Pengertian Ciri dan Unsur Cerpen
    Pengertian, Ciri, dan Unsur Cerpen - Cerpen atau Cerita Pendek merupakan salah satu jenis karya sastra. Cerpen di era sekarang sangatlah...

Kategori

Artikel Bahasa Biografi Cerpen Download Makalah Pantun Pendidikan Puisi Sastra
Back to top!
Copyright © 2014 BASASINDO - All Rights Reserved Design by Mas Sugeng - Edited by AmN